Rabu, 25 Juni 2025

Landasan Teoretis Pembelajaran Mendalam

Pada bagian ini disajikan landasan teori yang terkait sejarah dan konsep Pembelajaran Mendalam (PM), implementasinya dalam berbagai konteks pendidikan serta pendekatannya dalam prinsip pembelajaran yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan.

1. Perkembangan PM

Dalam pustaka, ditemukan dua konsep tentang PM. Pertama, PM merujuk pada pembelajaran mesin yang telah dikembangkan melalui riset sejak tahun 1940 dari tahap awal sibernetika sampai dengan kecerdasan buatan (Peters, 2018) dan jejaring syaraf pada otak (Gillon et al., 2019; Richards et al., 2019). Konsep kedua adalah PM yang diterapkan di Norwegia dalam bidang pendidikan, yang berbeda dari konsep yang dikaitkan dalam ilmu komputer (Bråten & Skeie, 2020).

Penerapan PM dalam pendidikan dibagi menjadi tiga fase. Pada fase pertama pada tahun 1970-an istilah PM dikaitkan dengan teori PM dan teori pembelajaran dangkal (Marton & Säljö, 1976). Dalam fase ini ditemukan bahwa pengembangan kemampuan membaca teks dengan PM (memahami makna, menghubungkan ide, dan melihat pada konteks yang lebih luas) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran dangkal (menghafal fakta yang tersurat dalam teks tanpa pemahaman mendalam baik secara konseptual maupun kontekstual) untuk pembelajaran jangka panjang dan pemecahan masalah.

Pada fase kedua pada tahun 1990–2000-an pemikiran bahwa belajar adalah proses aktif membangun pengetahuan, yang dipengaruhi oleh teori konstruktivis Jean Piaget dan Lev Vygotsky, memperkuat gagasan tentang PM. Fase ini memopulerkan metode pembelajaran berbasis proyek, kolaboratif, dan berbasis masalah. Dengan kebutuhan untuk menguasai Keterampilan Abad ke-21 dan memanfaatkan teknologi, PM mulai dikaitkan dengan pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah. Semua ini juga telah diterapkan di Indonesia tetapi proses dan hasilnya masih jauh dari harapan.

Pada fase akhir dalam era modern 2010 hingga saat ini dilakukan integrasi teknologi, teknologi pendidikan untuk mendukung PM dengan menggunakan simulasi, pembelajaran berbasis permainan, dan pembelajaran berbasis data. Paling mutakhir, PM mencakup isu-isu global, seperti keberlanjutan, literasi digital, dan pembelajaran sosial emosional. Singkat kata, penerapan PM pada konteks pendidikan lebih menekankan pada pemahaman mendalam oleh peserta didik dalam mengaplikasi pengetahuan dalam berbagai konteks.

2. Konsep PM

Pembelajaran Mendalam telah memengaruhi kebijakan pendidikan kontemporer di berbagai negara (Fullan & Langworthy, 2014) dan berperan penting dalam pengembangan kompetensi masa depan dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks (Fullan et al., 2018; Pellegrino & Hilton, 2012). Selain itu, PM juga berkaitan erat dengan kualitas pembelajaran. Pendekatan PM mampu menghasilkan kualitas capaian pembelajaran yang tinggi, sedangkan metode pembelajaran yang kurang mendalam cenderung menghasilkan capaian pembelajaran yang rendah (Smith & Colby, 2007).

Dalam buku The Process of Learning, Biggs dan Moore (1993) menjelaskan faktor peserta didik belajar dengan Model 3P (Presage–Process–Product).

  • Presage (Faktor Awal) mencakup elemen sebelum proses pembelajaran dimulai yang menentukan bagaimana pembelajaran akan berlangsung, yaitu identifikasi karakteristik peserta didik dan konteks pembelajaran.
  • Process (Faktor Proses) mencakup aktivitas dan pendekatan pembelajaran. Pembelajaran Mendalam ditandai dengan meningkatnya motivasi intrinsik oleh peserta didik dalam memahami dan melibatkan diri secara kritis, sedangkan pembelajaran dangkal (surface learning) ditandai peserta didik yang belajar hanya karena didorong oleh motivasi eksternal, sehingga belajar dipandang sebagai kewajiban menyelesaikan tugas atau hafalan untuk memenuhi persyaratan minimum sehingga peserta didik lebih fokus pada menghafal tanpa memahami konsep secara mendalam.
  • Product (Faktor Hasil) merupakan pengukuran hasil belajar. Hasil belajar mengacu pada pencapaian peserta didik dalam memahami dan mengaplikasikan pengetahuan dalam berbagai situasi kontekstual. Dengan demikian, pendekatan PM tidak hanya menilai seberapa banyak informasi yang dikuasai peserta didik, tetapi juga menilai kedalaman pemahaman, kemampuan berpikir kritis, serta aplikasi pengetahuan dalam kehidupan nyata.

PM menekankan bahwa peserta didik tidak sekadar menerima informasi, tetapi aktif dalam proses belajar melalui eksplorasi, kolaborasi, pemecahan masalah, dan refleksi. Pendekatan ini juga mengedepankan peran guru sebagai fasilitator yang mendampingi peserta didik dalam mengonstruksi pengetahuan. Dalam konteks ini, keberhasilan belajar tidak hanya diukur melalui ujian tertulis, tetapi melalui proyek, presentasi, diskusi, dan portofolio yang mencerminkan pemahaman mendalam peserta didik.

3. Implementasi PM dalam Konteks Pendidikan

Implementasi PM di berbagai negara menunjukkan pendekatan yang beragam namun berlandaskan pada prinsip yang sama, yaitu pembelajaran yang mendalam, kolaboratif, dan relevan dengan kebutuhan peserta didik. Di Finlandia, misalnya, PM diintegrasikan ke dalam kurikulum nasional melalui pendekatan fenomenon-based learning, di mana peserta didik belajar berdasarkan tema atau fenomena nyata secara lintas mata pelajaran. Pendekatan ini mendorong integrasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam proses pembelajaran.

Di Australia dan Selandia Baru, PM diterapkan melalui inquiry-based learning dan project-based learning yang mendorong peserta didik merumuskan pertanyaan, melakukan penelitian, dan menyusun solusi terhadap permasalahan nyata. Di Jepang dan Korea Selatan, pembelajaran mendalam difokuskan pada pembangunan karakter, kolaborasi, serta pemecahan masalah yang kontekstual melalui kegiatan berbasis proyek dan kerja kelompok.

Di Indonesia, penerapan PM masih menghadapi tantangan baik dari sisi kebijakan, kesiapan guru, kurikulum, hingga infrastruktur. PM belum sepenuhnya diadopsi secara sistematis dalam kurikulum nasional, dan penerapannya cenderung bersifat parsial atau terbatas pada sekolah-sekolah tertentu yang memiliki sumber daya dan dukungan yang memadai. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan dan strategi implementasi yang komprehensif dan berkelanjutan agar PM dapat diterapkan secara efektif dalam seluruh jenjang pendidikan.

4. Prinsip-prinsip PM dalam Pembelajaran

PM menekankan tiga prinsip utama yang menjadi ciri khas pendekatan ini, yaitu:

1.     Berkesadaran (Mindful): Peserta didik diajak untuk hadir secara utuh dalam proses belajar, menyadari apa yang mereka pelajari, mengapa mereka mempelajarinya, dan bagaimana hal tersebut relevan dengan kehidupan mereka. Kesadaran ini mendorong peserta didik untuk lebih fokus, reflektif, dan bertanggung jawab atas proses belajarnya.

2.     Bermakna (Meaningful): Pembelajaran dihubungkan dengan pengalaman nyata peserta didik serta kebutuhan masa depan mereka, sehingga mereka dapat melihat relevansi antara pembelajaran dan kehidupan. Hal ini menciptakan motivasi intrinsik dan keterlibatan emosional dalam proses belajar.

3.     Menggembirakan (Joyful): PM menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, bebas dari tekanan yang berlebihan, dan mendorong peserta didik untuk berekspresi, berkolaborasi, dan menikmati proses belajar. Pembelajaran yang menggembirakan meningkatkan kreativitas, rasa ingin tahu, dan motivasi peserta didik.

Ketiga prinsip ini membentuk landasan filosofi dan pedagogi PM yang menjadikan peserta didik sebagai subjek aktif dalam pembelajaran, bukan sekadar objek yang menerima informasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dokumen Perencanaan Pembelajaran Bahasa Arab Madrasah Aliyah

CP, TP, ATP, KKTP, PROSEM, PROTA, KKTP, MODUL AJAR Perencanaan pembelajaran sangat penting karena menjadi panduan bagi guru dalam melaksanak...